Sosok perempuan mengenakan baju abaya hitam lengkap dengan cadarnya
menjadi pusat perhatian para pengunjung mall Itäkeskus di kota Helsinki,
kota terbesar di negara Finlandia. Tak seorang pun tahu bahwa sosok
dibalik niqab itu bukan seorang perempuan Muslim betulan tapi seorang
wartawati, non-Muslim, dari surat kabar Helsingin Sanomat, salah satu
surat kabar terbesar di kawasan Skandinavia.
Nama wartawati itu Katja Kuokkanen. Ia sengaja menyamar menjadi
menjadi perempuan Muslim karena ingin merasakan sendiri bagaimana
rasanya mengenakan busana muslim lengkap dengan cadarnya di tengah
masyarakat Finlandia yang masih asing dengan agama Islam, bagaimana
rasanya ditatap dengan pandangan aneh dan takut dari orang-orang
disekitarnya. Kuokkanen menuliskan pengalaman dan perasaannya saat dan
setelah mengenakan niqab. Inilah yang ditulisnya …
Niqab dari bahan sifon berwarna hitam kadang melorot dan menutupi
kedua mata saya. Suatu ketika saya tersandung dan membentur bahu seorang
laki-laki di sebuah toko barang-barang etnik. Laki-laki itu membuat
gerakan tangan meminta maaf, tapi dengan sikap tak acuh seperti yang
biasa terjadi.
Lalu lelaki itu menengok ke arah saya dan menyadari bahwa saya
seorang perempuan yang mengenakan abaya dan cadar, pakaian khas
perempuan Muslim. Tiba-tiba laki-laki itu dengan sedikit membungkuk
mengulangi lagi permohonan maafnya. Saya mengira dia orang Arab dari
dialegnya saat meminta maaf. Saat itu saya merasakah hal yang tidak
pernah saya rasakan sebelumnya karena diperlakukan dengan begitu hormat
oleh orang lain.
Dari
toko etnis, saya menuju stasiun metro. Ketika saya naik ke sebuah metro
berwarna oranye. Saya menerima reaksi yang tak terduga. Seorang lelaki
mabuk berteriak kepada tiga temannya di dalam metro yang padat
penumpang.
“Hei, lihat itu ada salah satu pemandangan neraka !” teriak lelaki mabuk tadi.
Mendengar teriakan itu, penumpang lain serta merta memalingkan
pandangannya, tidak mau melihat ke arah wajah saya yang bercadar. Tapi
tiba-tiba seorang perempuan menegur saya, “Barang Anda jatuh,” kata
seorang perempuan setengah baya sambil menyerahkan jepit rambut saya
yang terjatuh di bangku sebelah.
Saya tidak bisa mengucapkan terima kasih pada perempuan itu, karena
kalau saya mengatakan sesuatu, kemungkinan penyamaran saya akan
terbongkar.
Lalu, ketika seorang gadis asal Somalia yang bekerja sebagai penjaga
toko, membantu saya membetulkan cadar, ia berkata bahwa jarang sekali
perempuan Muslim di Helsinki yang mengenakan busana seperti yang saya
kenakan. Gadis Somalia itu juga bilang bahwa ia sebisa mungkin
menghindari busana warna hitam. Ia menganggap warna hitam sebagai warna
yang dramatis dan mengundang pandangan banyak orang.
“Kerudung warna-warni yang cerah lebih bagus,” kata gadis itu seraya
mengatakan bahwa kaum perempuan Muslim di Finlandia bebas menentukan
sendiri untuk menutup bagian mukanya.
Dan di mall Itäkeskus, saya melihat banyak orang yang memandangi saya
dengan tatapan aneh bahkan takut. Seorang lelaki muda hampir saja
menumpahkan minuman kaleng yang dipegangnya saat melihat saya dengan
raut muka panik.
Saya sendiri mulai membiasakan diri mengenakan abaya dan cadar. Saya
mulai merasakan pakaian ini sangat nyaman dan hangat, meski saya agak
kesulitan untuk melihat sesuatu dengan jelas karena cadar yang saya
kenakan.
Kemudian saya memutuskan untuk pergi ke pasar yang dibuka di area
parkir di lantai paling atas mall Puhos. Di penyeberangan jalan, saya
bertemu dengan seorang perempuan tua asal Somalia yang dengan pelan
mengucapkan “Assalamu’alaikum”.
Saya
tersentuh mendengar salam itu. Selama ini saya tidak pernah bergaul
dengan perempuan Muslim. Dan saya selalu menerima salam seperti itu
dalam banyak kesempatan. Setiap Muslimah dari berbagai usia dan dari
berbagai etnis, yang mengenakan busana muslimah selalu mengucapkan
“Assalmua’alaikum” saat berpapasan dengan saya. Ketika itu saya tidak
mengerti apa arti ucapan itu, sampai saya akhirnya tahu bahwa ucapan itu
mengandung doa kesejahteraan dan kesalamatan.
Lalu, seorang lelaki yang sedang berdiri di depan sebuah toko
memanggil saya. “Hello ! Hei ! Tunggu!” teriak lelaki tadi. Saya tidak
menoleh karena saya pikir seorang perempuan Muslim sangat menjaga
kemuliaannya dan tidak akan menjawab panggilan seperti itu.
Beberapa jam setelah berkeliling dengan mengenakan busana abaya dan
cadar, saya kembali ke stasiun Metro. Perjalanan saya selanjutnya adalah
Kamppi Center.
Selama perjalanan, wartawati itu merenungkan pengalamannya sepanjang
hari ini, atas reaksi setiap orang terhadap abaya dan cadar yang
dikenakannya dan ia merasakan sendiri bahwa mengenakan abaya dan cadar
rasanya tidak seburuk yang orang lain pikirkan. Ia pun tanpa ragu
menegaskan, mengenakan abaya dan cadar, “Sama sekali tidak buruk. Jika
Anda memakainya, Anda akan merasakan kedamaian.”
Kisah ini menjadi ironi di saat negara-negara Eropa ramai-ramai mulai
melarang jilbab dan cadar. Seharunya mereka yang memberlakukan larangan
itu, membaca kisah wartawati Helsinki ini sehingga tidak perlu ada
kebijakan larangan berjilbab atau bercadar yang sejatinya diberlakukan
karena sikap Islamofobia masyarakat Barat. (red/helsingin online)
No comments :
Post a Comment